Thursday, May 7, 2009

Padang Lamun

Sering kita melihat hamparan hijau pada dasar laut di pinggir pantai yangmenyerupai padang rumput yang hijau, yang tidak lain adalah padang lamun atau yang populer dikenal dengan seagrass. Seagrass adalah tempat hidup bagi amat banyak organisma seperti ikan, kepiting, udang, lobster, seaurchin (bulubabi), dan masih banyak lagi. Hampir sebagian besar organisma pantai (ikan, udang, kepiting dll) mempunyai hubungan ekologis dengan habitat lamun. Sebagai habitat yang di tumbuhi berbagai spesies lamun, padang lamun memberikan tempat yang sangat strategis bagi perlindungan ikan-ikan kecil dari “pengejaran” beberapa predator. juga tempat hidup dan mencari makan bagi beberapa jenis udang dan kepiting. Komunitas lamun dihuni oleh banyak jenis hewan bentik, organisme demersal serta pelagis yang menetap maupun yang tinggal sementara disana. Spesies yang sementara hidup di lamun biasanya adalah juvenil dari sejumlah organisme yang mencari makanan serta perlindungan selama masa kritis dalam siklus hidup mereka, atau mereka mungkin hanya pengunjung yang datang ke padang lamun setiap hari untuk mencari makan. Banyak spesies epibentik baik yang tinggal menetap maupun tinggal sementara yang bernilai ekonomis, udang dan udang-udangan adalah yang bernilai ekonomis paling tinggi. Asosiasi fauna dengan lamun merupakan salah satu kajian yang paling menarik serta mudah untuk diamati oleh para peneliti Indonesia. Foraminifera bentik merupakan komponen penting pada komunitas lamun, tetapi hanya mendapatkan sedikit perhatian. Krustasea yang berasosiasi dengan lamun merupakan komponen penting dari jaring makanan di lamun. Bentuk krustase infaunal maupun epifunal berhubungan erat dengan produsen primer dan berada pada tingkatan trofik yang lebih tinggi, karena selama masa juvenil dan dewasa mereka merupakan sumber makanan utama bagi berbagai ikan dan invertebrata yang berasosiasi dengan lamun. Crustasea predator yang berasosiasi dengan padang lamun umumnya berada pada kondisi alami. Padang lamun juga merupakan habitat kritis bagi juvenil Portunus pelagicus, spesies yang bernilai ekonomis. Famili ini (Portunidae), memiliki lima pasang kaki yang beradaptasi untuk berenang, hal ini unik karena sebagian besar kepiting tidak dapat berenang. Kepiting dan beberapa crustacea lainnya menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya dengan mengubur diri dibawah permukaan substrat, dimana mereka mengintai untuk menyergap ikan atau invertebrata yang lewat; tergolong spesies yang sangat agresif. Bagaimanapun, banyak spesies ikan yang dimangsa oleh mereka. Umunya Kepiting Jantan lebih besar daripada betina, mereka mempunyai kebiasaan kawin unik, dimana mereka juga berbagi dengan Cacridae. Asosiasi sejumlah udang penaeid dengan padang lamun selama periode tertentu dari siklus hidup mereka diperlihatkan dengan baik. Moluska adalah salah satu kelompok makroinvertebrata yang paling banyak diketahui berasosiasi dengan lamun di Indonesia, dan mungkin yang paling banyak dieksploitasi. Hewan Echinodermata adalah komponen komunitas bentik di lamun yang lebih menarik dan lebih memiliki nilai ekonomi. Lima kelas echinodermata ditemukan pada ekosistem lamun di Indonesia. Beberapa jenis echinodermata diantaranya : Holothuroidea (timun laut atau teripang); Echinoidea (bulu babi); Asteroidea (Bintang laut); Ophiuroidea (Bintang Laut Ular); Crinoidea . Echinodermata pada umumnya, dengan pengecualian beberapa holothuroidea, makan pada malam hari. Tripneustes gratilla terlihat lebih menyukai menempel pada daun Thalassi hemprichii dan Syringodium isoetifolium yang kurang luas permukaan daunnya.

Gambar - gambar pendukung :


Tripneustes gratilla salah satu jenis bulu babi yg menghabiskan separuh hidupnya di padang lamun.


Potunus pelagicus (Kepiting renang) yang hidup dan besar di padang lamun.


Jenis Udang yang menjadikan Lamun sebagai habitat utamanya


Padang Lamun

Terumbu Karang

Terumbu Karang merupakan salah satu komponen utama sumber daya pesisir dan laut utama, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang merupakan kumpulan fauna laut yang berkumpul menjadi satu membentuk terumbu. Struktur tubuh karang banyak terdiri atas kalsium dan karbon. Hewan ini hidup dengan memakan berbagai mikro organisme yang hidup melayang di kolom perairan laut.

Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia (Walters, 1994 dalam Suharsono, 1998).

Indonesia merupakan tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang Dunia (Cesar 1997) dan merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman biota perairan dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Terumbu karang mengandung berbagai manfaat yang sangat besar dan beragam, baik secara ekologi maupun ekonomi. Menurut Cesar (1997) estimasi jenis manfaat yang terkandung dalam terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung.

Manfaat dari terumbu karang yang langsung dapat dimanfaatkan oleh manusia adalah pemanfaatan sumber daya ikan, batu karang, pariwisata, penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya yang terkandung di dalamnya. Sedangkan yang termasuk dalam pemanfaatan tidak langsung adalah seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan lain sebagainya.
Indo-Pasifik

Regional Indo-Pasifik terbentang mulai dari Indonesia sampai ke Polinesia dan Australia lalu ke bagian barat ialah Samudera Pasifik sampai Afrika Timur. Regional ini merupakan bentangan terumbu karang yang terbesar dan terkaya dalam hal jumlah spesies karang, ikan, dan moluska.

Berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan (land masses) terdapat tiga klasifikasi terumbu karang atau yang sampai sekarang masih secara luas dipergunakan.

Terumbu Reef

Endapan masif batu kapur (limestone), terutama kalsium karbonat (CaCO3), yang utamanya dihasilkan oleh hewan karang dan biota-biota lain yang mensekresi kapur, seperti alga berkapur dan moluska. Konstruksi batu kapur biogenis yang menjadi struktur dasar suatu ekosistem pesisir. Dalam dunia navigasi laut, terumbu adalah punggungan laut yang terbentuk oleh batu karang atau pasir di dekat permukaan air.

Karang Coral

Disebut juga karang batu (stony coral), yaitu hewan dari Ordo Scleractinia, yang mampu mensekresi CaCO3. Hewan karang tunggal umumnya disebut polip.

Karang terumbu

Pembangun utama struktur terumbu, biasanya disebut juga sebagai karang hermatipik (hermatypic coral) atau karang lunak, berbeda dengan batu karang (rock), yang merupakan benda mati.

Terumbu karang

Ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur (CaCO3) khususnya jenis­jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti jenis­jenis moluska, krustasea, ekhinodermata, polikhaeta, porifera, dan tunikata serta biota-biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya, termasuk jenis-jenis plankton dan jenis-jenis nekton

Jenis-jenis terumbu karang

1. Terumbu karang tepi (fringing reefs)

Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal. Contoh: Bunaken (Sulawesi), Pulau Panaitan (Banten), Nusa Dua (Bali).

2. Terumbu karang penghalang (barrier reefs)

Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0.5­2 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air) atau celah perairan yang lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus. Contoh: Batuan Tengah (Bintan, Kepulauan Riau), Spermonde (Sulawesi Selatan), Kepulauan Banggai (Sulawesi Tengah).

3. Terumbu karang cincin (atolls)

Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulau­pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan. Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter. Contoh: Taka Bone Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan Selatan), Pulau Dana (NTT), Mapia (Papua)

4. Terumbu karang datar/Gosong terumbu (patch reefs)

Gosong terumbu (patch reefs), terkadang disebut juga sebagai pulau datar (flat island). Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan dan, dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar. Umumnya pulau ini akan berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Contoh: Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu (Aceh)

Zonasi terumbu karang

Windward reef (terumbu yang menghadap angin)

Windward merupakan sisi yang menghadap arah datangnya angin. Zona ini diawali oleh reef slope atau lereng terumbu yang menghadap ke arah laut lepas. Di reef slope, kehidupan karang melimpah pada kedalaman sekitar 50 meter dan umumnya didominasi oleh karang lunak. Namun, pada kedalaman sekitar 15 meter sering terdapat teras terumbu atau reef front yang memiliki kelimpahan karang keras yang cukup tinggi dan karang tumbuh dengan subur.

Mengarah ke dataran pulau atau gosong terumbu (patch reef), di bagian atas reef front terdapat penutupan alga koralin yang cukup luas di punggungan bukit terumbu tempat pengaruh gelombang yang kuat. Daerah ini disebut sebagai pematang alga atau algal ridge. Akhirnya zona windward diakhiri oleh rataan terumbu (reef flat) yang sangat dangkal.

Leeward reef (terumbu yang membelakangi angin)

Leeward merupakan sisi yang membelakangi arah datangnya angin. Zona ini umumnya memiliki hamparan terumbu karang yang lebih sempit daripada windward reef dan memiliki bentangan goba (lagoon) yang cukup lebar. Kedalaman goba biasanya kurang dari 50 meter, namun kondisinya kurang ideal untuk pertumbuhan karang karena kombinasi faktor gelombang dan sirkulasi air yang lemah serta sedimentasi yang lebih besar.

Gambar - gambar pendukung :




Terumbu Karang di Bangka Belitung, Indonesia




Terumbu karang di Great Barrier Reef, Australia
Hutan bakau Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran tadi --yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi. Luas dan Penyebaran Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999). Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia. Lingkungan fisik dan zonasi Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah: 1. Jenis tanah. Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang. 2. Terpaan ombak Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar. 3. Penggenangan oleh air pasang Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan terkadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan. Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering. Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini. Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.). Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha). Bentuk-bentuk adaptasi Menghadapi lingkungan yang ekstrim di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis. Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar lutut (knee root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel, lubang pori pada pepagan untuk bernapas. Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya daun. Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar, vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga mengurangi evaporasi dari daun. Perkembangbiakan Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya. Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon. Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera). Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke tempat-tempat jauh. Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan istilah propagul. Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang berlumpur. Suksesi hutan bakau Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest succession atau sere). Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan di lahan basah (disebut hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan bergeser. Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir hutan bakau. Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin meluas. Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang. Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga beratus tahun. Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan hutan bakau, zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian pedalaman yang mengering. Uraian di atas adalah penyederhanaan, dari keadaan alam yang sesungguhnya jauh lebih rumit. Karena tidak selalu hutan bakau terus bertambah luas, bahkan mungkin dapat habis karena faktor-faktor alam seperti abrasi. Demikian pula munculnya zona-zona tak selalu dapat diperkirakan. Di wilayah-wilayah yang sesuai, hutan mangrove ini dapat tumbuh meluas mencapai ketebalan 4 km atau lebih; meskipun pada umumnya kurang dari itu. Kekayaan flora Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya. Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudera Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk, 1999). Berikut ini adalah daftar suku dan genus mangrove sejati, beserta jumlah jenisnya (dimodifikasi dari Tomlinson, 1986). Penyusun utama Suku Genus, jumlah spesies Acanthaceae (syn.: Avicenniaceae atau Verbenaceae) Avicennia (api-api), 9 Combretaceae Laguncularia, 11; Lumnitzera (teruntum), 2 Arecaceae Nypa (nipah), 1 Rhizophoraceae Bruguiera (kendeka), 6; Ceriops (tengar), 2; Kandelia (berus-berus), 1; Rhizophora (bakau), 8 Sonneratiaceae Sonneratia (pidada), 5 Penyusun minor Suku Genus, jumlah spesies Acanthaceae Acanthus (jeruju), 1; Bravaisia, 2 Bombacaceae Camptostemon, 2 Cyperaceae Fimbristylis (mendong), 1 Euphorbiaceae Excoecaria (kayu buta-buta), 2 Lythraceae Pemphis (cantigi laut), 1 Meliaceae Xylocarpus (nirih), 2 Myrsinaceae Aegiceras (kaboa), 2 Myrtaceae Osbornia, 1 Pellicieraceae Pelliciera, 1 Plumbaginaceae Aegialitis, 2 Pteridaceae Acrostichum (paku laut), 3 Rubiaceae Scyphiphora, 1 Sterculiaceae Heritiera (dungun)2, 3

Gambar - gambar pendukung :


Hutan bakau di Zambia, Afrika.


Pandangan di atas dan di bawah air, dekat perakaran pohon bakau, Rhizophora sp.


Tegakan api-api Avicennia di tepi laut. Perhatikan akar napas yang muncul ke atas lumpur pantai.


Paku laut, Acrostichum aureum

Monday, April 13, 2009

Kemampuan Yang Tidak Sejalan

Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alam. Segala macam jenis tumbuh – tumbuhan terdapat di Indonesia. Perlu diingat bahwa dahulu Indonesia sempat menjadi negara yang mendapat penghargaan swasembada, dimana pada saat itu negeri kita telah dapat mencukupi kebutuhan beras dalam negeri dan juga di eksport. Namun saat ini negeri kita telah mengalami perubahan yang sangat signifikan, dimana kekayaan sumber daya alam yang ada pada saat ini, tidak di dukung dengan sumber daya manusia yang berkualitas, padahal sumber daya manusia di Indonesia sangat berlimpah. Namun sumber daya manusia yang ada tersebut tidak didukung dengan sarana pendidikan yang menunjang. Pada umumnya masyarakat Indonesia memiliki latar belakang pendidikan yang rendah jika dibanding dengan negara tetangga, seperti ; Singapura, Malaysia dan Thailand. Hal ini memang lebih disebabkan karena rendahnya mutu pendidikan di Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain. Sehingga dengan rendahnya pendidikan itu, maka menyebabkan pengetahuan – pengetahuan masyarakat Indonesia sangat kurang. Dari sana maka masyarakat Indonesia kurang dapat mengolah kekayaan alam yang dimilikinya. Seandainya dapat pun, yang dilakukan bangsa Indonesia dalam mengolah sumber daya alamnya masih menggunakan cara – cara/tekhnik dan alat – alat yang masih sangat kuno. Sehingga hasil produksinya pun mengecewakan. Hal ini pun menimbulkan suatu masalah bagi kehidupan masyarakat Indonesia, dimana masyarakat Indonesia harus membeli produk asing / produk dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti dalam membeli beras, pada umumnya masyarakat Indonesia akan membeli beras hasil produksi dari Thailand, karena mutu dan kualitasnya yang jauh lebih unggul dibanding produk dalam negeri. Hal ini sungguh amat disayangi sekali, karena pada dasanya Indonesia mempunyai wilayah pertanian yang jauh lebih besar dibanding Thailand dan juga sumber daya alam yang lebih melimpah, namun karena tekhnik pengolahan yang masih kuno, sehingga hasilnya pun tidak maksimal. Hal itu kembali lagi kepada mutu pendidikan di Indonesia yang rendah, sehingga menghasilkan tenaga – tenaga yang berpengetahuan rendah pula.
Sungguh disayangi sekali apabila sumber daya alam yang dimiliki negeri kita ini tidak dipergunakan secara maksimal. Padahal negara kita mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi negara yang maju dalam bidang agraris. Harus ada perubahan – perubahan dalam negara kita untuk dapat mencapai pada tahap tersebut. Pemerintah harus meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, sehingga dapat menghasilkan tenaga – tenaga yang berkualitas dan berpengetahuan luas. Dari sana maka dapat muncul penemuan – penemuan terhadap alat – alat yang lebih mutakhir sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan dapat bersaing di pasaran dunia. Selain itu pemerintah juga harus mendukung penuh hal tersebut, yaitu dengan mendanai dari awal sampai akhir. Dan apabila sumber daya alam yang kita miliki tidak kita kelola dan olah dengan baik, maka negara asing akan mengolah sumber daya alam itu dan menjadi milik mereka.

bentuk pertanian di negara lain yang diolah dengan modern

bentuk pertanian di Indonesia yang masih sangat kuno

salah satu sumber daya alam Indonesia yang diambil oleh negara asing